Anak kelahiran tahun 90an, tampaknya akrab dengan alas kaki merk Carvil. Alas kaki yang satu ini didesain untuk bertualang di alam. Kalau kata ibuku sih, sandal gunung. Nah, saat itu aku yang masih sangat kecil, tentu tidak paham dengan merek. Iklan sandal Carvil beredar di mana-mana. Tentu saja, ibuku termasuk orang yang penasaran, sebagus apa sih sandalnya.
Kebetulan di kampungku, ada satu keluarga kaya yang sering membicarakannya. Kami tetangganya, kebanyakan mengandalkan reviewnya untuk barang-barang yang harganya tidak normal untuk dibeli kala itu. Kalau dia bilang, ini bagus buat dibeli, sesuai harganya, dan review positif lain, maka saat ada uangnya dan memang butuh kami akan membelinya. Tapi kalau dia bilang, “menang harga aja nih. Gak enak dipakai, dan bla, bla, bla” dijamin, barang itu minim sekali akan dibeli. Seperti influencer masa kini lah ya. Ha-ha.
Nah, si Carvil ini saat itu banyak iklannya muncul saat bulan Ramadan. Tentu saja dengan review yang baik, menjadi incaran para ibu untuk anak-anaknya saat Idul Fitri nanti. Sayangnya saat itu juga banyak beredar duplikasinya. Ya tidak jauh dengan saat ini, banyak alas kaki yang modelnya sangat mirip, tapi merk dan tingkat kenyamanannya tidak sama.
Si Carvil ini juga muncul di toko-toko dekat rumahku, di Kebun Sayur. Setiap toko memberikan penawaran harga yang berbeda-beda. Bertepatan dengan bulan puasa dan mendekati Lebaran, setiap toko sesak dengan pengunjung. Ibuku pun melakukan tawar menawar dengan sebuah toko. Pokoknya kalau tidak sepakat harganya, maka akan ditinggal. Bukan pura-pura pergi ya, beneran di tingggal. Ha-ha.
Nah, di toko terakhir tampaknya ibuku sudah menyerah. Lelah, ingin cepat pulang tapi tidak mau membawa tangan kosong. Maka, dibelilah sepasang sandal gunung. Bagaimana denganku? Tentu saja aku mengikut pilihan ibu. Mau aman dan damai, ya ikut ajalah, he-he.
Sesampainya di rumah, aku langsung memamerkannya ke embahku. “Keren ya mbah,” kataku.
“Keren. Tapi kok tulisannya Carval? Bukannya mereknya Carvil?” Mbahku bertanya pada ibuku.
Saat mendengarnya, ibuku langsung terkejut. Ibu langsung mengambil sandal dan memastikan merek yang tertulis di alas kakinya. ”Lah iya!” Kata ibuku mulai putus asa.
“Ketipu dong?” Kata bapak sambil menahan tawa.
”Gak apa-apa. Tulisannya juga ketutup kaki kok. Gak ada yang tau kalau palsu,” kata mbahku.
Kejadian itu sampai sekarang masih sering menjadi bahan pembicaraanku, ibu dan mbak Ika. Buat kami, itu pelajaran yang sangat penting. Kami kecewa, tapi tidak bereaksi dengan marah-marah. Selalu ada hikmah dari setiap peristiwa.