“Kurikulum Merdeka ini, bikin orang tua repot!” kata salah satu wali murid di whatsapp grup kelas Cinta.
Pendapat serupa dulu juga pernah dilontarkan mbak Ika, kakak keduaku yang punya tiga orang anak. Ia harus membersamai ketiga anaknya. Kalau bisa dibagi tiga, mungkin dia memilih dibagi tiga saja, ha-ha. Apalagi saat pandemi dulu, ketika semuanya harus sekolah secara daring. Fiuh!
Sependek yang aku tahu, Kurikulum Merdeka Belajar, sudah mulai diimplementasikan pemerintah sejak tahun 2022. Tujuannya untuk menyederhanakan kurikulum sebelumnya yang terkesan rumit dan tidak bisa memenuhi kompetensi murid-murid.

Menurut laman dari Kemendikbud, ada beberapa karakteristik utama dari Kurikulum Merdeka Belajar, di antaranya ;
- Fokus pada materi esensial sehingga pembelajaran lebih mendalam.
- Waktu lebih banyak untuk pengembangan kompetensi dan karakter melalui belajar kelompok seputar konteks nyata (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila).
- Capaian pembelajaran per fase dan jam pelajaran yang fleksibel mendorong pembelajaran yang menyenangkan dan relevan dengan kebutuhan pelajar dan kondisi satuan pendidikan.
- Memberikan fleksibilitas bagi pendidik dan dukungan perangkat ajar serta materi pelatihan untuk mengembangkan kurikulum satuan pendidikan dan melaksanakan pembelajaran berkualitas.
- Mengedepan gotong royong dengan seluruh pihak untuk mendukung implementasi Kurikulum Merdeka Belajar.
Lalu apa keunggulannya dibanding dengan kurikulum sebelumnya? Masih dari laman yang sama,
- Lebih sederhana dan mendalam
- Lebih merdeka
- Lebih relevan dan interaktif
Aku yang baru tahun ajaran ini menjadi wali murid sekolah dasar, masih santai-santai aja. Tapi satu hal yang aku sadari, kok aku bisa menikmati, karena keterlibatan orang tua dalam projek untuk murid ini adalah kegiatan prakarya. Inner child ku meronta-ronta gembira. Ha-ha.
Bagaimana tidak, Riska kecil adalah orang yang suka sekali membuat sesuatu. Meski hasilnya tidak memuaskan, tapi kegiatan seperti itu menjadi saluran emosi. Namun dulu banyak sekali larangannya. Sampai sekarang juga sih. Jadi inner child tersalurkan saat ada projek anak yang harus dikerjakan bersama-sama.
Di Kurikulum Merdeka Belajar, pengembangan soft skills dan karakter dibangun dengan projek. Kreativitas dan inovasi para murid dibangun untuk mencapai kompetensi dasar. Dan yang terpenting, pembelajarannya juga fleksibel. Para guru diberi keleluasaan untuk melakukan pembelajaran sehingga tahap capaian dan perkembangan masing-masing murid bisa sesuai.
Eh tapi nih, jika aku pernah mendengar langsung keluhan para orang tua murid soal kurikulum ini, sebaliknya ada juga keluhan dari orang tua murid yang merasa kalau ada saja guru yang tidak bisa mengikuti kurikulum merdeka ini. Tahukan guru kita jaman dulu, yang kalau ngomong A nggak boleh disanggah atau ditanya lebih detail. Nah, kalau sudah seperti itu, murid-murid yang akan makin puyeng!
Mungkin pada kenyataannya, Kurikulum Merdeka Belajar ini belum 100% berjalan sesuai harapan. Tapi aku yakin semua pihak, termasuk kita orang tuanya, ingin pendidikan anak-anak kita menjadi lebih baik.