Bagaimana Bisa Bahagia?

Kata orang, bahagia itu sederhana. Dan katanya kebahagian setiap orang tidaklah sama. Lalu apa sebenarnya bahagia? Menurutku salah satu kunci bahagia adalah bersyukur. Itulah mengapa standar bahagia setiap orang tidak sama. Karena rasa syukur kita yang berbeda-beda. Semakin banyak rasa syukur, maka semakin tinggi pula kebahagiaan yang kita rasakan. 

Aku mencoba bertanya pada diriku sendiri, bahagia bagiku seperti apa? Apakah bisa berbelanja barang yang kita inginkan? Ataukah punya kesempatan me time? Atau apalagi? 

Merenung, merenung, dan merenung. Ternyata saat ini bahagia versiku ada pada pencapaian keseharian yang aku siapkan setiap pagi. Seberapa baiknya aku menjalani pagi dengan kesibukan domestik. Ketika aku menjalani pagiku dengan mindfull, maka seharian perasaan bahagia akan datang. Tapi saat pagi hari sudah dipenuhi dengan emosi marah dan kegiatan tanpa jeda, rasanya seharian isinya hanyalah rasa kesal. 

Tentu saja, seharusnya aku memenuhi tangki bahagiaku sendiri sejak pagi. Jadi bisa menjalani hari dengan santai tanpa beban. Menurutku kebahagiaan harus bisa kita ciptakan sendiri. Karena berharap kebahagiaan dari manusia, akan menimbulkan kekecewaan yang berlipat. Lagi pula, bukankah sudah seharusnya kita berharap sepenuhnya hanya kepada Allah? 

Oh iya, belum lama ini aku melihat konten seseorang yang berkeluh kesah tentang pernikahan. Siapa sih yang tidak ingin pernikahannya bahagia? Siapa sih yang ingin imajinasi pernikahannya jomplang dengan versi aslinya. Aku yakin semua ingin bahagia dengan versinya. 

Sayangnya banyak dari kita yang tidak selesai dengan trauma pengasuhan. Yang ternyata juga ikut andil dalam kebahagian di pernikahan. Membagikan ketidakenakan dalam pernikahan sebenarnya boleh-boleh saja. Tapi jangan sampai lupa, kalau pernikahan terjadi karena kedua belah pihak yang sama-sama mencintai. beda cerita kalau dijodohkan ya, hehe. 

Saat menikahi orang yang kita cintai tapi ternyata ada hal-hal yang tidak sesuai harapan, apakah langsung dianggap menikah itu menyedihkan. 

Seorang wanita pernah berkata padaku “Ketika perceraian terjadi saat usia pernikahan sudah di atas lima tahun, maka percayalah kalau masalah yang mereka hadapi bukan hal yang mudah. Maka jika itu orang terdekatmu atau bahkan tidak kenal, cukup berikan telingamu sebagai pendengar. Tidak perlu diberi nasehat apapun. Dengarkan saja keluh kesahnya.” 

Setelah beberapa tahun mengenal perempuan itu, aku baru tahu kalau pernikahannya tidak baik-baik saja. Ia menikah sudah 15 tahun. Berarti nasehat yang pernah ia sampaikan padaku adalah pengalaman pribadinya. Yang membuatku sangat terkejut, selama mengenal dan mendengar cerita rumah tangganya, tidak pernah ia menceritakan yang sedih-sedih. Yang dibagikan adalah pengalaman-pengalaman seru dan membahagiakan. Mungkin ia tidak mau membuatku yang waktu itu masih jomblo jadi takut menikah, kalau cerita yang sedih-sedihnya. 

Nah, menurutku berbagi pengalaman menyedihkan pernikahan ada yang perlu dan tidak perlu. Kita harus mencari cara, bagaimana bisa berbagi tanpa menakuti. 

Tinggalkan komentar