“Kira-kira apa ya yang dipikiran orang ngeliat tumbler kopi segede ini?” tanyaku pada suami suatu hari saat menemani anak-anak bermain. “Tumbler kopi segede ini, padahal isinya air putih,” tambahku.
“Bisa jadi gak mikir apa-apa. Karena kakak jarang liat orang beli kopi pakai tumbler sendiri. Malahan kakak yang jarang liat ade beli kopi tanpa tumbler sendiri,” jawab suami.
Aku tertawa mendengar jawaban suamiku.
Kami berdua sama-sama penggemar kopi. Tapi sayangnya jenis kopi yang kami nikmati tidak sama. Suami selalu menyukai varian vietnam drip. Sedangkan aku, selalu bisa menikmati americano atau kopi susu tanpa gula. Alasan mengurangi gula tentu saja karena keluargaku memiliki riwayat diabetes. Mau tidak mau, gula harus dikurangi agar nanti tidak jadi kebiasaan. Padahal aku memang penggemar makanan-makanan manis.
Ada beberapa alasan aku selalu membeli kopi dengan tumbler. Yang pertama, karena aku suka suhu dingin yang terjaga. Meski minum kopinya cepat, aku tidak suka kopi yang suhunya tidak dingin. Kalau mau, ya panas sekalian. Kedua, untuk mengurangi penggunaan gelas plastik sekali pakai dari coffee shop. Dan yang terakhir untuk mengurangi jajan. Karena kalau pakai tumbler, artinya aku harus membeli langsung ke coffee shopnya. Sayangnya, alasan terakhir ini tidak terlalu berpengaruh. Coffee shop sangat mudah dilewati saat aku mengantar-jemput anak-anak sekolah. Alhasil niat mengurangi jajan kopi hanya angan-angan. Nah yang agak disayangkan lagi, coffee shop sangat jarang memberikan diskon saat kita memakai tumbler sendiri. Ya harus pakai tumbler mereka. Tapi kalau melihat point 1 dan 2, ya gak apa-apa deh tanpa diskon.
Jalan tanpa tumbler berisi air putih dan es batu sangat jarang sekali kulakukan. Jika tidak membawa, artinya ketinggalan. Padahal tumblernya sudah siap sedia. Karena kebiasaan itu, anak-anak pun jadi ketergantungan. Terutama Rangga. Pernah suatu hari, aku lupa membawa tumbler air dingin. Rangga yang sudah kehausan menolak diajak untuk membeli di warung. Cuaca di luar memang sangat panas, air dengan es batu memang menggugah selera.
“Maunya yang dingin!” serunya.
“Iya, kita cek yang dingin. Kalau kurang dingin, kita cari di warung lain,” kata papahnya.
“Gak mau!” jawabnya.
“Atau kita beli es kelapa aja. Kayaknya enak tuh,” kata nenek mencoba merayu. Ah, itu mah maunya nenek ya, ha-ha.
Kalau sudah seperti itu, dengan terpaksa mamahnya harus menahan kesabaran mengajaknya berbicara. Dengan nada lemah lembut aku mencoba mengajak Rangga berbicara.
“Kesal karena mamah lupa bawa tumbler?” tanyaku sambil memvalidasi perasaanya.
”Iya,” jawabnya dengan muka cemberut.
“Maaf ya. Mama tadi lupa. Kalau kita harus pulang lagi, sudah terlalu jauh. Khawatir kita malah terlambat ke tempat bermain. Jadi sekarang Rangga minum air putih yang dibeli papah dulu,” aku mencoba menjelaskan.
“Gak mau!” Rangga tegas menolak.
Tidak lama kemudian, papahnya masuk ke dalam mobil menyodorkan dua botol air mineral yang sangat dingin. Aku sampai terkejut, jarang sekali ada warung yang menyalakan suhu dingin sampai serendah ini.
Aku langsung menyentuhkan botol air mineral tersebut ke tangan Rangga. Dia terkejut. Namun seperti saklar lampu yang menyala. Rona bahagia langsung terpancar di wajahnya. Iapun langsung meminum air mineral tersebut tanpa jeda. Terlihat sungguh-sungguh kehausan.
Dari kejadian itu, aku selalu berusaha untuk tidak melupakan tumbler. Terutama mengisi dengan es batu yang banyak. Kalau hanya air putih, masih bisa dibeli di warung. Tapi es batu, tidak semua penjual minuman mau menjual es batunya saja kan?
