Saat Konsultasi dengan Psikolog

Saat ini kesehatan mental tidak lagi disembunyikan. Mungkin sebagian masih ada yang merasa malu. Tapi juga tidak sedikit yang merasa sangat terbantu dengan terbukanya kesehatan mental saat ini. Dulu memang kebanyakan orang menganggap kalau berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater adalah orang yang sakit jiwa. Padahal kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. 

Dulu saat duduk di bangku SMA, aku pernah berkeinginan menjadi seorang psikolog. “Memangnya jadi psikolog kerjanya di mana?” Tanya ibuku. Aku yang hanya tahu psikolog sebagai tempat berkonsultasi, hanya mengira rumah sakitlah yang jadi tempat praktik. Beberapa tahun kemudian, aku baru tahu kalau ilmu seorang psikolog sangat dibutuhkan di banyak pekerjaan. Di antaranya sebagai guru Bimbingan Konseling. 

Aku yang saat sekolah dulu hanya tahu kalau guru BK adalah tempat anak-anak bermasalah. Pokoknya jadi tempat yang sangat menakutkan deh! Saat berkunjung ke sebuah SMK negeri, aku bertemu guru BK yang ternyata adalah seorang psikolog. Kebetulan beliau adalah kakak dari temanku.  “Mbak, kukira guru BK itu killer lho! Kerjanya cuma potongin rambut anak-anak. Jadi tempat laporan anak-anak nakal,” kataku waktu itu. 

“Iya, dulu pas zamanmu mungkin begitu. Tapi sekarang gak. Kami yang lulusan psikolog ini memang diharapkan bisa menjembatani anak-anak yang biasanya dianggap bermasalah. Anak-anak yang katanya bermasalah ini, sebenarnya punya sebab yang gak bisa diketahui sekilas. Nah, guru BK yang bisa diajak curhat inilah yang diperlukan,” jelasnya. Dan setelah pertemuan itu, aku bertemu dengan banyak psikolog di banyak bidang pekerjaan. Ilmu sebagai psikolog yang membantu pekerjaannya. Makanya saat aku bercerita pada ibu kalau ternyata psikolog juga punya kesempatan bekerja yang luas, ibu agak sedikit menyesal. Tapi aku memaklumi, karena dulu ibu merasa pekerjaan dengan jaminan pensiun adalah pekerjaan terbaik. Ha-ha. 

Memiliki beberapa teman yang seorang psikolog ternyata tidak membuatku mudah untuk mencari bantuan. Tentu sesuai prosedur ya. Bukan yang memanfaatkan profesi teman dengan curhat alih-alih konsultasi. Aku yang memang agak sulit terbuka dengan orang lain merasa sangat ragu. 

Maka beberapa waktu lalu aku memutuskan untuk melakukan konsultasi psikolog lewat aplikasi Halo Doc. Tidak bisa pergi tanpa anak adalah salah satu alasan aku belum bisa melakukan konsultasi lewat tatap muka. Pertimbangan saat itu adalah aku sudah sangat lelah, emosi yang selalu ingin marah dan terlintas bagaimana kalau aku mati. Bukan ingin bunuh diri. Tapi aku merasa belum mempersiapkan diri dan anak-anak jika aku tidak ada nanti. 

Jujur saja, aku memilih psikolog secara acak. Tapi aku sengaja tidak memilih yang usianya lebih tua dariku. Ada perasaan khawatir digurui. Karena saat itu aku sedang mencari pendengar. Setelah berkonsultasi, aku merasa jauh lebih lega. Meski sebenarnya aku tidak 100 persen terbuka. Sepertinya masih ada suara hati yang mendesak untuk membangun benteng. 

Beberapa hari setelah konsultasi, qadarullah aku sakit. Perasaan tidak nyaman, asam lambung, perut kanan atas yang sakit menjalar hingga pinggang dan masih ada keluhan lain. Jika dirunut, tentu saja karena belakangan aku memang tidak memperhatikan pola makan dengan baik. Sering melewatkan jam sarapan, menunda makan kebanyakan konsumsi makanan pedas dan minum kopi. Aku kembali berkonsultasi dokter lewat aplikasi. Dokter memberikan resep sesuai keluhan yang diduga asam lambung. Beberapa hari minum obat dokter, keluhan memang membaik. Tapi aku seperti harus konsumsi obat dulu agar seharian ini bisa menjalankan aktivitas. 

Tiba-tiba, notifikasi dari aplikasi muncul. Mengingatkan apakah aku kembali membutuhkan konsultasi? Sebenarnya notifikasi ini muncul karena konsultasi psikolog sebelumnya. Setelah itu aku menyadari kalau asam lambung yang muncul ini juga karena stress yang aku rasakan sejak sebelumnya. 

Maka aku konsultasi dengan kakakku seorang tenaga kesehatan. “Santai ya. Jangan stress. Semakin stress, ada aja masalah kesehatan yang muncul. Kalau gak kuat sama sakitnya, minum obat X dan Y,” jawab kakaku. 

Alhamdulillah, atas izin Allah kondisi kesehatan makin membaik. 

Sekarang aku masih bertanya-tanya, kapan lagi waktu yang tepat untuk kembali berkonsultasi dengan psikolog. Karena konsultasi saat sedang kalut akan terasa berbeda saat kita sedang merasa damai. 

Tinggalkan komentar