Saat travelling, kebanyakan orang cenderung bablas dalam memilih makanan. Tidak salah sih, karena travelling kan dilakukan di waktu-waktu tertentu. Makanya menikmati kuliner khas tujuan, akan sangat disayangkan jika terlewat.
Tapi tidak semua orang memiliki selera yang mudah menerima aneka makanan. Kalau sudah seperti itu, kita harus punya satu menu makanan yang siap jadi penolong.
Nah, rabuk ikan bisa jadi salah satu pilihannya. Rabuk ikan? Menu apakah itu?
Sependek yang aku tahu, rabuk merupakan menu makanan khas Banjarmasin yang berbahan dasar ikan. Ikan dihaluskan hingga berbentuk seperti rabuk atau abon. Jika abon bahan dasarnya daging sapi, rabuk menggunakan ikan dengan bumbu rempah-rempah. Meski terlihat serupa, rasanya sungguh berbeda.
Makanan ini cocok dijadikan lauk dengan teman nasi hangat. Tidak perlu repot-repot ada tambahan lainnya. Apalagi rabuk termasuk tahan lama. Penyimpanannya juga mudah, hanya perlu disimpan dalam tempat kedap udara untuk menghindari pertumbuhan jamur.
Sebagai keturunan suku banjar, rabuk adalah makanan favorit bapak. Maka tak heran, saat tidak bersemangat makan, rabuk adalah lauk yang dicari. Bahan-bahan yang digunakan sangat sederhana. Hanya saja proses memilah daging ikan dari tulangnya cukup merepotkan. Makannya singkat, prosesnya yang lama sering membuat ibu malas untuk membuatnya. Ditambah lagi, ikan yang memiliki kandungan purin membuat asam urat bapak mudah kambuh. Jadi kalau tidak sangat-sangat menginginkan rabuk, ibu tidak mau memasak rabuk untuk bapak.
Nah, adik ipar yang kelahiran Samarinda ternyata sangat familiar dengan rabuk. Boleh jadi karena warga Samarinda memang kebanyakan keturunan dari suku banjar. Meski adik ipar keturunan suku Jawa, lahir, besar dan memiliki banyak teman dari suku Banjar membuatnya lihai membuat rabuk.
Awalnya ia hanya iseng-iseng membuat rabuk. Lantaran saat ke pasar ia menemukan ikan layang yang sangat segar. Sedikit kalap, ia membeli banyak ikan layang tersebut. Sesampainya di rumah, barulah ia menyadari kalau hanya di goreng atau dimasak dengan santan akan membosankan. Iapun mencoba-coba membuat rabuk dari ikan layang tersebut. Kenapa coba-coba? Karena biasanya rabuk dibuat dengan ikan tongkol atau ikan haruan. Karena membuat cukup banyak, ia pun membagikan ke tetangga dan teman-temannya. Ternyata banyak yang menyukai ikan rabuk buatannya. Yang tadinya hanya sekadar pedas, ia tambahkan lagi rawitnya. Jadilah ikan rabuk yang nikmat itu semakin diminati karena rasa pedas yang nagih.
Tidak mau ikan rabuknya cepat basi atau berjamur, adik ipar memasaknya sampai benar-benar kering. Proses memasaknya ini bisa sampai memakan waktu 5 jam. Jika lebih dari 5 kilogram daging ikan layang, maka waktunya juga makin lama.
Makanya adik ipar selalu membuat rabuk ikan hanya berdasarkan pesanan saja. Saat di pasar tidak ditemukan ikan layang yang segar, ia pun lebih memilih untuk membatalkan atau menunda pembuatan rabuk sampai menemukan ikan layang yang segar.
Sebagai penggemar rabuk, akupun selalu menjadikan rabuk menu penolong saat nafsu makan menurun. Bukan hanya aku, tapi juga keponakan-keponakanku. Makanya saat ada stok rabuk di rumah, mereka lebih memilih makan nasi hangat dengan rabuk ikan. Bahkan tidak sedikit testimoni dari pelanggan, yang menjadikan rabuk ikan sebagai bekal untuk travelling.
Satu cup rabuk ikan hanya dijual seharga Rp 25.000, dengan berat 250 gram. Dan alhamdulillah saat ini izin produksi rabuk ikan ini sudah memiliki logo Halal.
