“Sayang-sayangku, tolong ya mandinya yang serius. Selain biar cepat, kalau serius jadi hemat air juga,” kataku mengingatkan Cinta dan Rangga saat akan mandi sore.
Biasanya yang suka mandi berlama-lama adalah Cinta. Entah sambil membuat sabun atau menyikat kamar mandi, yang sebenarnya juga sambil bermain.
“Kerannya dinyalain gak mah?” tanya Cinta. Karena air di bak tinggal setengah, akupun mengiyakan pertanyaan Cinta. Karena setalah Cinta, akan menyusul giliran Rangga, Bunga dan terakhir aku. Usai anak-anak mandi, artinya giliran emaknya.

Satu jam setelah aku mandi, aku baru menyadari kalau tadi aku lupa mematikan keran bak. “Huuaaaaaa. Lupa matikan keran!” teriakku.
“Ihh, Mamah kan tebuang-buang airnya,” kata Cinta.
“Padahal tadi kata Mamah harus hemat air,” tambah Rangga.
Hmmmm. Saat aku melihat bak mandi, posisi air tidak sampai tumpah-tumpah dan keran air sudah tertutup.
“Eh, siapa yang matikan kerannya. Terima kasih banyak lho,” kataku ke anak-anak.
Tapi tidak ada satupun yang mengakui sudah mematikan air. Suami? Aku tidak yakin karena sejak siang sudah sibuk dengan bapak-bapak tetangga. Atau keponakanku? Atau sepupu? Atau kakaku? Atau kakak iparku? Entahlah. Aku tidak bertanya-tanya lagi karena mereka sudah pulang ke rumah masing-masing.
Lega rasanya airnya tidak terbuang-buang. Tapi ternyata, jeng, jeng, jeng. Air penampungan memang sudah habis. Ha-ha.
“Ternyata air memang tidak terbuang kok. Tapi air PDAMnya yang memang tidak mengalir. Jadi tandon kita kosong,” kata nenek. Yah, kalau begini sih hemat airnya jadi dipaksa. Ha-ha.