Kapan nikah? Pertanyaan yang kerap membuat banyak orang kesal. Terutama perempuan-perempuan yang berusia 25an ke atas. Gak cuma itu sih. Di setiap jenjang kehidupan, selalu ada pertanyaan yang membuat mental seseorang naik dan turun. Kapan nikah? Kapan punya anak? Kapan nambah anak? Dan masih banyak lagi.
Pertanyaan kapan menikah mulai sering ku dengar dari keluarga. Bukan keluarga dekat sih. Malah keluarga yang agak jauh yang sering bertanya. Namun karena kesibukanku yang seperti artis internasional plus kaum introvert, aku cukup cuek dan santai menghadapi mereka.
Nah, saat aku berhenti bekerja di usia 25 tahun, pertanyaan itu mulai datang lagi dari tetangga. Kesal? Kali ini aku memang mulai kesal. Kalau dulu, aku tidak terlalu memperdulikan karena memang belum punya calon suami. Gimana mau nikah, pacar saja tidak punya. Saking sibuknya bekerja, aku sampai tidak sadar akan kode-kode yang berseliweran.
Lalu saat aku merasa sudah siap dan mendapatkan calon yang tepat, ternyata izin menikah belum diberikan. Saat itu, bapak sedang sakit. Aku dan ibu harus lebih perhatian. Tentu saja ketika menikah, baktiku harus berpindah. Aku awalnya mencoba bersabar. Ternyata semakin lama, aku baru menyadari kalau bukan bapakku yang keberatan anaknya menikah. Tapi ibuku. Ha-ha.
Maka setiap orang yang bertanya kapan menikah, aku akan menjawab dengan ekspresi datar. “Tanyain dong sama ibuku. Kapan anaknya dibolehin nikah!”
Aku paham akan kekhawatiran para orang tua saat anak gadisnya mengajukan izin menikah. Beruntungnya aku, bapak sejak dulu sudah mengajari bahwa setelah menikah, bukan lagi orang tuaku yang utama. Bayangkan kedua orang tuaku, seakan siap menjauhkanku dari kehidupan mereka. Contohnya saat membangun rumah. Ibu dan bapak membuat dua kamar. Satu kamar utama untuk ibu dan bapak, satu lagi untuk siapa saja cucunya yang menginap. “Lho, kok bukan Riska?” Tanyaku dulu.
”Kalau suamimu nanti pindah keluar kota, masa kamu gak ikut? Kan istri harus mendampingi suaminya,” jawab bapak. Padahal aku malah sejak usia remaja, tidak pernah berpikir sedikitpun untuk jauh dari kedua orang tuaku. Kemanapun aku pergi, ya ibu bapak ikut. Aku merasa sebagai anak bontot, sudah jadi tugasku untuk mengurus kedua orang tuaku. Kata anak sekarang sih, sandwich generation. Buatku, sandwich generation bukan hal yang memberatkan. Tapi sebuah kewajiban. Yang baru kuketahui, memang bukan kewajiban jika menyangkut keinginan. Berbeda dengan kebutuhan. Yang kita terima saat menjaga dan mengurus orangtua, akan dibalas langsung oleh Allah SWT. Hitungan manusia sih gak akan masuk ya.
Kembali lagi soal menikah. Untuk generasi saat ini, pernikahan bukan lagi ajang mewah-mewahan. Kebanyakan sudah paham, kalau yang terpenting dari sebuah pernikahan bukanlah pestanya. “Penginnya sih, intimated gitu. Tapi kok gak mungkin ya?” kata sepupuku yang baru beranjak dewasa. Ia belum memutuskan dalam waktu dekat. Tapi aku sudah sering mewanti-wanti, supaya saat nanti ia menikah, acara yang berlangsung menyesuaikan. Tidak memaksa.
“Mana bisa gitu. Teman umi kan banyak banget,” jawab ibuku.
Memang pernikahan itu seharusnya hak para mempelai. Orang tua atau keluarga yang tidak urun dana, sebaiknya menahan diri untuk meminta ini itu. Ha-ha.
Karena terkadang, anak-anak tidak bisa menolak permintaan orang tuanya. Ditambah lagi nih, perencanaan keuangan yang belum matang. Kita kira sudah cukup, nyatanya masih banyak printilan-printilan yang mengikuti.