IGD oh IGD

Aroma karbol menyeruak ke hidungku. Dinginnya udara malam senada dengan dinginnya AC di IGD RSUD Kanujoso Djatiwibowo. Sekelebat bayangan yang telah lalu kembali muncul. Lorong rumah sakit, infus, beraneka macam obat-obatan dan suntikan, serta semua hal yang berhubungan dengan rumah sakit silih berganti seperti adegan film yang diputar cepat. 

Kunjunganku malam ini ke IGD karena mengantar suami yang sejak kemarin malam mengeluhkan rasa terbakar di lambungnya. Rasa panas itu semakin membuatnya tidak nyaman. Padahal siangnya, kondisi sudah lebih baik. Kami memutuskan untuk ke IGD, agar penanganan lebih cepat dan tepat. 

Aku tahu benar, bagaimana rasa tidak nyamannya. Hanya saja, aku sudah mulai mengenali apa pemicu asam lambung yang aku alami. 

Dan benar saja, baru beberapa detik di dalam ruangan IGD tiba-tiba aku merasakan ketidaknyamanan di lambung dan tenggorokan. “Tenang Riska. Jangan panik. Tarik nafas dalam, hembuskan” kataku pada diri sendiri sambil menutup mata. Beruntung, belum ada perawat yang mendatangi kami. Aku punya waktu beberapa saat untuk menenangkan diri. Aku merasakan sedikit getaran di tangan. Tidak kentara. Tapi aku menyadari bahwa aku mulai panik. Setelah bisa menguasai diri sendiri, aku langsung mendatangi perawat dan memberitahukan bahwa suami yang butuh bantuan. 

Aku langsung menuju bagian pendaftaran. “Kayaknya gak bisa ditanggung BPJS, gk apa-apa ya?” Aku membaca pesan dari kakakku yang merupakan petugas kesehatan di IGD. Kakak sebenarnya sedang off. Namun karena aku mau ke IGD, ia memutuskan ikut menyusul. IGD malam ini sangat sepi. Tidak seperti beberapa tahun lalu yang selalu ramai. Apalagi dulu, saat aku masih harus bolak balik ke rumah sakit membawa bapak. Aku sampai merasa bisa berjalan dengan mata tertutup tanpa menabrak apapun. Saking hapalnya sama letak barang di RSUD ataupun RS tempat bapak bekerja dulu. 

Sekitar 30 menit di IGD, suamiku mendapatkan penanganan. Mungkin buat sebagain orang, ini adalah waktu yang lama. Apalagi kalau membandingkan dengan serial The Resident, kok gak seru. *plak*

Memang semua pekerjaan di IGD sebenarnya sudah terukur. Mana yang harus segera ditangani, mana yang tidak, semua ada regulasinya. Kadang tingkat kepanikan keluarga pasienlah, yang merasa para petugas kesehatan bergerak lambat. 

Setelah mendapatkan pengobatan dan diobservasi, suami merasa mulai membaik. Kamipun diizinkan untuk pulang. “Kondisi ini gak ditanggung ya. Jadi pembayarannya umum,” kata kakakku. 

“Iya kak. Gak apa-apa,” jawabku. Sudah semingguan ini mengikuti story instagram drg Mirza, aku paham maksud perkataan kakakku. Apalagi, sebelum-sebelumnya kakak memang sudah sering menceritakan tentang kondisi penanganan pasien BPJS. Ditambah lagi, kondisi suami tidak masuk kategori penanganan khusus. Kami sudah siap ketika harus membayar pribadi. 

Yang menyedihkan adalah ketika memang kondisi gawat dan darurat yang harus ditangani, tapi petugas kesehatan harus dibenturkan dengan peraturan BPJS. “Makanya bukan capek kerja aja. Tapi juga capek sama laporan, apalagi kalau sampai dianggap laporannya gak sesuai. Padahal nakes di lapangan itu ya maunya kasih pelayanan maksimal untuk pasiennya,” kata kakakku. 

Alhamdulillah, sesampainya di rumah kondisi makin membaik. Semoga tidak perlu ada lagi kunjungan ke IGD di lain waktu. 

Tinggalkan komentar