Beberapa hari lalu, warga Balikpapan meradang. Bagaimana tidak, kota kesayangan yang terkenal dengan sebutan Kota Minyak, tiba-tiba warganya kesulitan mendapatkan BBM dengan jenis pertamax.
Sejak isu Pertamax yang tidak sesuai dengan ketentuannya, banyak orang yang kembali menggunakan Pertalite. Tidak semua sih. Selain kendaraanya memang bukan tipe BBM Pertamax, juga banyak tipe pengendara yang malas antri. Yups, jalur Pertamax di SPBU cenderung sepi. Jadi kalau terburu-buru, Pertamax sajalah ya.
Saat itu anak-anak masih libur sekolah, aku santai-santai saja. Karena memang penggunaan kendaraan paling banyak dilakukan saat anak-anak sekolah dan les. Jika tidak ada keperluan mendesak, aku pasti memilih di rumah saja. Mengisi sosial batreku yang sering drop karena banyak berada di luar rumah.
“Kabarnya, pengiriman tambahan sudah dilakukan. Tapi sebelum benar-benar aman, sebaiknya prioritaskan kendaraan untuk mengantar anak-anak saja,” pesan suami.
“Aman atau tidaknya bisa lihat di om atas deh. Kalau dia jual eceran, berarti stok BBM aman,” jawabku sambil tertawa.
“Kok bisa?” tanya suami.
”Soalnya om itu malas capek-capek ngantri pertamax. Dia pernah bilang jualan eceran gak ngoyo. Kalau susah atau mahal, ya mendingan gk usah aja,” terangku.
Benar saja, di hari Senin dan Selasa banyak orang yang mengantri untuk kendaraannya. Yang mengantri bukan hanya motor, tapi juga mobil. Baik kendaraan pribadi atau pun transportasi umum.
Di dua hari tersebut, tentu saja banyak pihak yang sudah bersusah payah mengusahakan agar distribusi BBM bisa diterima masyarakat dengan cepat. Menurutku pribadi selain usaha langsung menghadapi orang-orang yang memang berkepentingan, kecepatan warga Balikpapan di ranah online patut diacungi jempol.
Saking banyaknya aku sampe merasa lelah karena membaca amarah warga. Ha-ha. Padahal bukan aku yang dimarahi, tapi energinya sampai merasuk ke kalbu.
Di hari Rabu, aku memutuskan untuk membeli BBM meski indikator bensin belum sampai di warna merah. Ya kalau gak antri alhamdulillah, tapi kalau antri pasti aku mundur.
Alhamdulillah, meski antrian masih agak panjang, tapi petugas SPBU sangat gesit. Jadi aku hanya mengatri sekitar 10 menit saja,
Namun yang membuatku kesal, ternyata aku menganb. tri bukan dengan orang-orang yang memang membutuhkan BBM untuk kendaraan pribadi mereka. Tap para pengetap dan penjual BBM eceran. Kok tahu? Lucunya ada seorang bapak yang menegurku. Ia menyarankan agar aku membeli eceran saja. Daripada antri. Mungkin dia kasihan karena melihat Rangga yang ikut antri dengan seragam sekolah.
“Mahal tapi ya pak? Katanya ada yang jual 30 ribu,” jawabku. Aku tidak antri eceran, malah selama ini sering mengisi eceran, ha-ha. Tapi aku hanya mau membeli eceren ke penjual yang memang aku kenal.
“Saya jual 20 ribu aja kok,” jawab si bapak. Begitu mendengar jawaban si bapak, aku langsung tercengang. Aku percaya banyak masyarakat yang membutuhkan BBM. Jadi antrian yang terjadi bukan ilusi. Aku makin terkejut, ternyata ada yang antri dengan membawa 2 drum berukuran sedang. Bisa diduga kalau dia penjual bensin eceran. Hiks-hiks.
Sudah kesal dengan berita-berita yang beredar, makin kesal melihat tingkah oknum-oknum yang memanfaatkan situasi.