Satu Pertanyaan tentang OSIS, Seribu Kenangan yang Muncul

“Ada kalanya, momen paling sederhana justru menjadi pintu untuk cerita yang tak pernah kita duga.”

Terkadang, satu pertanyaan sederhana dari anak-anak bisa membuka pintu kenangan yang sudah lama tertutup rapat. Begitu pula pagi itu, saat Cinta dengan polosnya bertanya soal OSIS—pertanyaan kecil yang tiba-tiba menyeretku kembali ke masa sekolah, ke perpustakaan pengap tempat aku bersembunyi, dan ke mading-mading penuh cerita yang dulu kususun bersama sahabat-sahabatku.

“Mah, jadi anak OSIS itu ngapain aja sih?” tanya Cinta di perjalanan menuju sekolah.

“Hmm… kayaknya papah deh yang lebih kompeten jawab. Soalnya papah dulu aktif banget berorganisasi. Waktu kuliah malah jadi ketua BEM,” jawabku sambil tersenyum.

“Terus mamah? Dulu waktu sekolah nggak pernah ikut OSIS? Kenapa?” Cinta kembali bertanya.

“Entahlah, kak. Dari dulu mama lebih senang menghabiskan waktu di perpustakaan. Padahal perpustakaan sekolah mama dulu itu pengap dan berdebu. Tapi tetap jadi tempat paling nyaman buat sembunyi dari riuhnya kelas,” jelasku.

“Jangan-jangan bestie mama cuma Mami Cipa,” godanya.

“Gak dooong. Waktu SMA bestie mama ada lima orang. Berteman sih sama 30 anak lainnya, tapi yang lima ini memang paling dekat,” jawabku.

“Terus waktu SMP dan SD berapa bestie mama?”

“Waktu SMP ada tiga. Nah, kalau SD…” aku mulai berpikir keras. “Hmmm… Ya Allah, cuma satu, kak!” jawabku sambil tertawa—diikuti tawa Cinta yang makin keras.

Buat Cinta (dan juga Rangga), sebenarnya bukan hal baru kalau mamanya ini termasuk makhluk yang “minim bersosialisasi”. Yang bikin mereka sering bingung justru perbedaan kami: papanya super extrovert, sementara mamanya introvert akut. Kombo yang lucu tapi sah-sah saja.

Jadi anak OSIS memang seru dan keren. Banyak hal yang mereka pelajari: dari tanggung jawab, komunikasi, sampai membangun kepercayaan diri.

Dua keponakanku, yang sekarang duduk di bangku SMP dan SMA, juga lagi sibuk-sibuknya ikut organisasi. Ada yang aktif di Paskib, ada yang di OSIS. Jam pulang sekolah mereka selalu geser jauh dari jam normal.

Reaksi terjujurku? “Ya Allah… kenapa pulang sekolah nggak langsung pulang aja sih!” 😆

Tapi kalau dipikir lagi, aku pun dulu punya kesibukan sendiri saat SMA. Salah satunya ikut lomba mading. Meski bukan kegiatan rutin, hampir setiap tahun aku dan sahabat-sahabatku ikut lomba mading sekolah. Bahkan dua kali mewakili sekolah di tingkat provinsi—yang pada akhirnya jadi cikal bakal tempat aku bekerja. Ha-ha. Hidup memang penuh plot twist.

Kalau mengingat masa-masa itu, rasanya hangat dan menyenangkan. Hari-hari hanya dipusingkan ide membuat mading yang bisa menarik perhatian pembaca.

Sayangnya, generasi sekarang sudah beralih ke gadget. Media mereka berbeda, tantangannya pun lain. Tapi pada akhirnya, kreativitas tetap sama: selalu mencari cara untuk bercerita, mengekspresikan diri, dan meninggalkan jejak.

Tinggalkan komentar