Menyembuhkan luka bukanlah proses yang cepat. Sebanyak apa pun cinta yang diberikan, trauma tidak serta-merta hilang. Ia membutuhkan waktu—dan kesabaran untuk merawatnya.
Sering muncul pertanyaan… apakah cinta itu masih ada? Apakah ketulusan itu nyata? Atau jangan-jangan semua hanya karena rasa takut kehilangan?

Jika cinta itu tulus, mengapa luka masih terasa? Namun jika semata karena ketakutan… mengapa tetap ada kekosongan yang muncul?
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak selalu menemukan jawaban. Namun seiring waktu, setiap kenangan dan kejadian yang terhubung justru dapat menjadi petunjuk—membentuk benang merah yang membantu memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Luka itu memang perih. Tetapi di balik perihnya, ada kekuatan yang perlahan tumbuh. Ada upaya untuk bangkit, meski langkahnya kecil dan tidak selalu stabil.
Kadang muncul pikiran yang sunyi: jika seseorang pergi selamanya, apakah ada yang benar-benar merasa kehilangan? Apakah ada yang menyesali hal-hal yang tak pernah terucap?
Namun dalam proses menyembuhkan diri, muncul kesadaran baru—bahwa nilai seseorang tidak ditentukan oleh seberapa besar ia dirindukan atau ditangisi ketika pergi.
Healing dimulai saat seseorang memilih untuk menjaga dirinya sendiri. Saat ia memahami bahwa ia layak dicintai, layak bertahan, dan layak bahagia, terlepas dari bagaimana orang lain merespons kehadirannya.
Dan dari sanalah kekuatan itu tumbuh kembali. Perlahan. Tenang. Namun pasti.