Camping Perdana di Villa Lembayung

“Suka camping gk?” tanya suami suatu hari. Seketika aku menoleh kaget. It’s my dream mas. Eh, eh, kok latah sih. Tapi sesungguhnya, itu impianku saat kecil. Lantaran sering diajak bapak lewat jalan minyak yang melewati hutan lebat. Saat itu, dibayanganku ketika dewasa nanti aku bisa mendirikan tenda di tengah-tengah hutan. Sambil melakukan penelitian dan menikmati alam di depan tenda. Tapi impian itu bertolak belakang dengan keluargaku. Dengan bapak ibu yang juga minim dengan petualangan di alam.

Jadi, ketika suami bertanya bagaimana jika mengajak anak-anak camping, tentu saja ku sambut dengan suka cita. Tapi karena ini pengalaman pertama dan kami mengajak nenek untuk turut serta, maka pilihan camping di pantai menjadi pilihan utama.

Camping kali ini, aku dan suami ingin bersamaan dengan hari ulang tahun pernikahan suami. Kalau kebanyakan pasangan memilih berduaan menikmati hari pernikahannya, suami menginginkan sebaliknya. “Nanti ada waktu kita bisa berduaan terus. Sabar ya,” kata suami. Aku tahu, suami tidak mau kehilangan bersama anak-anaknya.

Aku paham benar perasaan suami. Kenapa? Saat aku mulai bekerja dulu, ibu dan bapak lebih banyak waktu berduaan. Bayangkan, akhir pekan adalah waktu yang mereka tunggu. Karena bisa jalan-jalan denganku bahkan kakak-kakak dan cucu. Itulah yang saat itu menyadarkanku, segila kerjanya aku dulu, keluarga adalah yang utama. Aku lebih memilih jalan-jalan dengan keluarga, meski sudah bertemu di rumah dibandingkan nongkrong dengan teman-teman sebayaku.

Lho, kan kita butuh orang lain di luar keluarga? Ya, aku setuju. Tapi aku punya cara sendiri bagaimana agar tetap terhubung dengan dunia luar.

Lalu bagaimana camping pertama ini? Kapok? Tentu tidak!!! Kami semua malah tidak sabar ingin menjadwalkan ulang kapan bisa camping lagi. “Kapan kita ke sini lagi?” tanya Cinta. Padahal kami baru saja memasukan barang ke mobil untuk pulang. “Nanti ya, kita jadwalkan lagi. Semoga papah ada rezeki, biar kita bisa ajak kakak-kakak buat camping bareng disini,” jawab suami.

Camping pertama ini tentu jadi pelajaran. Kami tim yang takut kelaparan, akhirnya tahu seberapa banyak yang harus kami bawa. Aku yang gak suka kegerahanpun, di sini lebih santai. Gak mandipun gk masalah. Ha-ha. Mau mandi, anak-anak masih mau main pasir. Ya udah, ntaran aja.

Badan sakit-sakit saat camping? Gak sama sekali. Soalnya di tenda ada kasur tipis. Dan suara deburan ombak menambah nye

“Suka camping gk?” tanya suami suatu hari. Seketika aku menoleh kaget. It’s my dream mas. Eh, eh, kok latah sih. Tapi sesungguhnya, itu impianku saat kecil. Lantaran sering diajak bapak lewat jalan minyak yang melewati hutan lebat. Saat itu, dibayanganku ketika dewasa nanti aku bisa mendirikan tenda di tengah-tengah hutan. Sambil melakukan penelitian dan menikmati alam di depan tenda. Tapi impian itu bertolak belakang dengan keluargaku. Dengan bapak ibu yang juga minim dengan petualangan di alam.

Jadi, ketika suami bertanya bagaimana jika mengajak anak-anak camping, tentu saja ku sambut dengan suka cita. Tapi karena ini pengalaman pertama dan kami mengajak nenek untuk turut serta, maka pilihan camping di pantai menjadi pilihan utama.

Camping kali ini, aku dan suami ingin bersamaan dengan hari ulang tahun pernikahan suami. Kalau kebanyakan pasangan memilih berduaan menikmati hari pernikahannya, suami menginginkan sebaliknya. “Nanti ada waktu kita bisa berduaan terus. Sabar ya,” kata suami. Aku tahu, suami tidak mau kehilangan bersama anak-anaknya.

Aku paham benar perasaan suami. Kenapa? Saat aku mulai bekerja dulu, ibu dan bapak lebih banyak waktu berduaan. Bayangkan, akhir pekan adalah waktu yang mereka tunggu. Karena bisa jalan-jalan denganku bahkan kakak-kakak dan cucu. Itulah yang saat itu menyadarkanku, segila kerjanya aku dulu, keluarga adalah yang utama. Aku lebih memilih jalan-jalan dengan keluarga, meski sudah bertemu di rumah dibandingkan nongkrong dengan teman-teman sebayaku.

Lho, kan kita butuh orang lain di luar keluarga? Ya, aku setuju. Tapi aku punya cara sendiri bagaimana agar tetap terhubung dengan dunia luar.

Lalu bagaimana camping pertama ini? Kapok? Tentu tidak!!! Kami semua malah tidak sabar ingin menjadwalkan ulang kapan bisa camping lagi. “Kapan kita ke sini lagi?” tanya Cinta. Padahal kami baru saja memasukan barang ke mobil untuk pulang. “Nanti ya, kita jadwalkan lagi. Semoga papah ada rezeki, biar kita bisa ajak kakak-kakak buat camping bareng disini,” jawab suami.

Camping pertama ini tentu jadi pelajaran. Kami tim yang takut kelaparan, akhirnya tahu seberapa banyak yang harus kami bawa. Aku yang gak suka kegerahanpun, di sini lebih santai. Gak mandipun gk masalah. Ha-ha. Mau mandi, anak-anak masih mau main pasir. Ya udah, ntaran aja.

Badan sakit-sakit saat camping? Gak sama sekali. Soalnya di tenda ada kasur tipis. Dan suara deburan ombak menambah nyenyak. Bikin tenang. “Enaknya ya suara ombaknya,” kata ibu. Ya, dari kami tidur sampai bangun suara ombak tak pernah berhenti. Pengalaman yang mengesankan bagi kami semua.

2 tanggapan untuk “Camping Perdana di Villa Lembayung”

Tinggalkan Balasan ke Riska Fikriana Moerad Batalkan balasan