Karena cintanya adalah pancaran cahaya, tak ‘kan berhenti hanya karena kau menutup jendela.
Siapa nih yang meletakkan bawang di buku ini. Sejak awal halaman, buku ini sudah mengaduk-aduk emosi. Kita – pembaca – diposisikan sebagai tokoh dalam cerita ini. Si tokoh yang dipaksa menoleh ke belakang, berkejaran dengan waktu untuk memunguti potongan masa lalu.

Cerita bermula saat ayah dan ibu yang sedang menanti kehadiran buah hati. Meski keduanya seorang guru, perekonomian keluarga tidak baik-baik saja. Namun keduanya seperti sudah terbiasa dengan kerasnya kehidupan. Mereka tetap berbuat baik dan bekerja dengan giat. Ketika sang buah hati yang dirindukan hadir di rahim ibu, semakin berbahagialah keduanya.
Namun saat hari persalinan yang membahagiakan, takdir berkata lain. Si ibu meninggal dunia saat melahirkan putranya. Ayah sangat terpukul hingga tidak sadarkan diri. Di saat itulah si ayah bermimpi. Di dalan mimpinya ada yang berkata “jalani takdirmu sebagai ayah yang hebat dan buat kekasihmu bangga karenanya. Sesungguhnya di dalam diria anakmu terkandung dua cinta yang terus berkelonda. Cintamu dan cintanya. Maka mencintai anakmu adalah juga mencintai kekasihmu. memeluk anakmu juga memeluk kekasihmu”
Dan setelah sadar dari pingsannya, meski terpukul ayah bertekad membesarkan anaknya sendiri dengan penuh kasih sayang. Sesekali ayah dibantu adik laki-laki dan perempuannya. Saat paman dan bibi tidak bisa membantu, ayah membawa putranya ke sekolah. Jika ada guru lain atau petugas tata usaha yang tidak sibuk, mereka bersedia menemani. Mereka semua menyayangi si bayi.
Waktu terus bergulir, si bayi yang beranjak dewasa menjadi anak yang tekun dan cerdas. Kedekatannya dengan ayah juga sangat akrab. Setiap hari mereka selalu bertukar cerita. Ayah bahkan menutup pintu hatinya rapat-rapat. Bagi ayah, ibu adalah cinta terakhirnya. Tidak ada yang lebih baik dari ibu.
Saat ada perlombaan puisi dengan tema ibu, keduanya sangat sedih. Bagaimana bisa menuliskan puisi tentang ibu, seumur hidupnya dia tidak pernah merasakan sentuhan ibunya. Tapi lagi-lagi, ayah menjadi matahari yang menerangi kegelapan. Baginya ayah adalah ibunya.
Kebersamaan dengan ayah terpaksa tidak dilanjutkan karena anaknya melanjutkan pendidikan di kota. Cita-cita anaknya hanya satu, belajar tekun dan selesai kuliah lebih cepat. Agar ia bisa bekerja ditempat yang baik. Bisa memberikan kehidupan yang layak untuk anaknya.
Saat membaca buku ini, aku teringat pada Embah Min dan Bapak. Embah Min, mirip dengan ayah, menghabiskan sisa usianya menjadi orang tua tunggal. Menjadi ayah sekaligus ibu untuk keempat anaknya.
Cerita yang berhubungan dengan orang tua selalu mengingatkanku pada Bapak. Aku bahagia karena dulu sudah mengambil keputusan tepat. Aku memutuskan memberikan sedikit waktuku. Menciptakan kebersamaan dan kenangan indah yang bisa kurasakan dan kuingat sampai saat ini.
Judul : Seribu Wajah Ayah
Penulis : Nurun Ala
Cetakan ketujuh 2024
Harga : Rp 93.500,-