Ibu, peluklah dirimu adalah kalimat yang sangat tepat untuk semua para ibu. Dengan semua sepak terjang yang tidak sama. Para ibu perlu tempat untuk bersandar, berkeluh kesah, tangan yang menepuk pundaknya atau telinga yang dengan sabar mendengar.
Buku ini tiba-tiba muncul di beranda Gramedia Digitalku. Wah, apakah aplikasi sudah menyadari kalau aku sedang berada di fase lelah berkepanjangan. Ha-ha. Begitu memilih buku ini, aku tidak langsung membacanya. Entah mengapa hati masih belum siap. Setelah kurang lebih tiga minggu berada di perpustakaan Gramedia Digital, aku baru mulai membacanya. Terkadang aku khawatir kalau isi bukunya terlalu berat atau terasa menggurui, malah tidak merasuk ke dalam kalbu.

Ada tujuh bab yang disajikan dalam buku ini. Di bab pertama pembaca sudah diajak untuk mengenali dirinya sendiri. Karena luka pengasuhan yang belum diselesaikan, akan terus membayangi selama kita menjadi ibu. Terkadang kita malah tidak menyadari ada luka pengasuhan itu.
Alhamdulillah, aku memutuskan membaca buku ini ketika aku sudah merasa tenang dan nyaman dengan kondisi saat itu. Kalau kemarin-kemarin, saat emosi masih menguasai, aku tidak yakin buku ini bisa menyadarkan dan mengajakku untuk introspeksi diri. Ya, buku ini banyak mengajakku untuk melihat diri sendiri sebelum melihat orang lain. Jangan sampai gajah di pelupuk mata tak tampak, tapi semut di seberang lautan tampak ya!
Daya juang setiap ibu tidak sama. Tapi aku yakin semuanya pernah ada di titik lelah yang amat sangat. Mungkin bedanya penerimaan masing-masing dan durasinya tidak ada yang sama.
Belajar menguasai ego masing-masing tentu tidak mudah. Tapi tetap harus diusahakan kan! Menikah bukan menghilangkan jati diri, tetapi mengasah kembali, agar diri semakin lebih baik kedepannya sesuai dengan versi terbaik kita masing-masing. Kalimat tersebut sangat mengena ya. Sehingga tidak ada lagi perasaan paling berkorban dalam sebuah pernikahan. Karena kalau merasa paling berkorban, ego tidak akan ada yang mau kalah.
Bab yang paling aku suka di buku ini ada di bab xx. Di mana bab ini menjelaskan tentang “Memasang Kacamata Syukur”. Jangan biarkan ekspektasi mengambil alih sumber kebahagiaan kita adalah kalimat yang aku garis bawahi.
Kadang, membandingkan antara diri kita dengan orang lain menjadi sumber ketidakbahagiaan. Apalagi sampai membandingkan suami dan anak. Fiuh. Gk bakal ada habisnya deh!
Kita tidak pernah tahu, apakah kehidupan orang lain benar-benar bahagia ataukah lebih berat dari yang kita hadapi. Hanya saja, orang tersebut memilih untuk menyembunyikannya. Bisa jadi memang romantis seperti yang terlihat atau bisa saja tidak sesempurna yang kita bayangkan.
Maka daripada berharap orang lain yang bisa langsung berubah menjadi seperti yang kita mau. Lebih baik memulai dari diri sendiri.
Kita, para perempuan yang suka sekali menggunakan kode morse, harus sadar bahwa hal tersebut tidak semua dipahami para laki-laki. Daripada bermain dengan perasaan, mengatakannya akan lebih mudah. Susah woii! Ha-ha. Tenang kita perlu belajar perlahan-lahan.
Bagaimana perasaan setelah membaca buku ini. Aku merasa lebih yakin. Karena sembari membaca, nasihat-nasihat yang diberikan bisa menjadi pondasi penting dalam menjalani peran sebagai ibu rumah tangga.
Karena menjadi ibu tidak ada sekolahnya, maka kita para perempuan harus mempersiapkan diri dengan belajar lebih tekun. Oleng sesekali boleh. Jalan perlahan juga boleh. Tapi jangan sampai menghentikan perjalanan kita sebagai istri, ibu dan pribadi yang lebih baik.