
Empat orang sahabat, dipertemukan pertama kali di sebuah sekolah kedokteran. Yasen, Hilman, Asran dan Sudiro. Keempatnya berasal dari suku, daerah dan latar belakang keluarga yang jauh berbeda. Yasen adalah seorang non muslim, berbeda dengan ketiganya. Alasan masuk sekolah kedokteran Stovia pun sebenarnya juga berbeda. Ada yang terpaksa, tapi ada juga yang karena alasan mulai membantu sesama.
Yasen tidak pernah berniat sekolah kedokteran di Batavia. Apalagi dia sudah memiliki seorang kekasih hati. Orang tua kekasih hatinya, begitu menyukai Yasen. Tapi sayang, tidak dengan kedua orang tua Yasen. Mereka menginginkan Yasen menjadi seorang dokter yang sukses. Ketika Yasen melakukan sebuah kesalahan, tak ada lagi alasan untuknya menolak perintah bersekolah di Batavia.
Arsan berasal dari Padang. Ia dikirim sekolah kedokteran karena memang ingin menolong orang-orang di kampungnya. Dokter sangat jarang. Maka keinginan Arsan didukung penuh orang tuanya.
Begitu juga dengan Hilman yang berasal dari Bandung. Tak hanya orang tuanya, tapi guru-guru di sekolahnya dulu juga mendukung keinginan Hilman. Hilman memang pandai.
Berbeda dengan Sudiro. Laki-laki asal Purwokerto ini memutuskan sekolah kedokteran karena keinginan almarhumah ibunya. Ia tidak ingin kehilangan orang-orang yang ia sayangi lagi.
Kedekatan mereka berempat bukan hanya karena sekamar di asrama sekolah. Tapi di hari pertama mereka masuk asrama, Hilman bertengkar dengan salah satu senior. Karena alasannya terlalu dibuat-buat, Yasen, Arsan dan Sudiro pun membantu membela Hilman.
Pada bagian ini, mengingatkanku pada kasus bullying di sekolah kedokteran yang sedang viral. Hampir aku lupa kalau sedang membaca novel. Aku merasa sedang membaca buku sejarah, sehingga sempat berpikir “ooh, pantesan. Bullying sudah ada sejak zaman Hindia Belanda”. Oh iya, latar waktu novel ini memang mengambil masa-masa Hindia Belanda.
Tidak hanya sekadar belajar di sekolah, keempatnya juga banyak mendapatkan ilmu di luar sekolah. Yasen misalnya, ia diajak untuk menyelidiki kasus pembunuhan.
Awalnya karena ia dan ketiga temannya diajak study banding. Karena mereka bersekolah di kedokteran, merekapun membantu proses autopsi. Yasen mendapatkan banyak peluang menemani detektif mencari petunjuk.
Romansanya di bagian mana? Banyak! Yang paling bikin wow adalah saat Hilman jatuh cinta pada seorang nyai, sebutan untuk perempuan yang simpanan oleh orang Belanda. Semua temannya sudah mengingatkan. Bahwa Hilman tidak bisa bersama dengan nyai. Tentu alasan utama adalah status sosialnya. Tapi selain itu, menurut ketiga temannya, cinta Hilman terlalu buta. Saat Hilman tidak mau mendengar saran temannya sama sekali, ayahnya datang ke asrama. Di sana ayahnya menentang keras keinginan Hilman. Hilmanpun tersadar bahwa ia salah. Tujuannya bersekolah kedokteran bukan untuk jatuh cinta saja.
Namun siapa sangka, kalau nyai, perempuan yang ditaksir Hilman adalah pujaan hati Yasen di Manado dulu. Untungnya Yasen dan Hilman sadar diri. Jadi tak ada adegan rebut-rebutan si nyai.
Tak hanya Yasen dan Hilman yang mengalami patah hati pada seorang perempuan, tapi juga Arsan. Tapi menurutku patah hati terberat adalah ketika Sudiro kehilangan bapaknya. Sudiro merasa hilang arah karena kedua orang tuanya meninggal. Ketiga temannya terus memberikan semangat dan dukungan. Tak hanya mereka, tapi semua guru dan siswa di sekolah Stovia melakukan hal yang sama.
Apakah cerita berakhir bahagia? Ya! Tapi ada sedikit cerita yang kembali memberikan kesedihan. Tapi kesedihan di akhir cerita ini, tidak membuat hati gundah gulanan kok.
**Ebook tersedia di Gramedia Digital