Gurunya Baik, Tapi Tidak dengan Mata Pelajarannya

Siapa guru yang paling berpengaruh bagi Anda? Mengapa?

Tanpa guru, jadi apakah diri kita ini? Sejak kecil, kita mungkin sering mendengar kalimat “Guru adalah Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Menurutku menjadi seorang guru harus panggilan dari hati. Guru, jika hanya mengincar gaji bulanan, aku yakin pasti akan kecewa. Bagaimana tidak, begitu banyak murid yang harus diajarnya, tidak sebanding dengan penghasilan yang didapat. 

Di negara kita, profesi para guru masih harus terus diperjuangkan. Tapi bekerja dengan hati, membuat ilmu yang diajarkan para guru terus mengalir ke anak didiknya. 

Namun, yang selalu jadi misteri buatku dan ibuku adalah wajah para guru yang selalu awet muda. Padahal setiap hari harus mengelus dada mengurus anak-anak muridnya yang luar biasa. Ha-ha. 

Waktu aku duduk di Sekolah Dasar, ada satu guru yang lumayan perhatian. Aku pikir, karena aku termasuk anak pintar di sekolah. Ditambah lagi, sekolahku saat itu setiap angkatan hanya ada satu kelas saja. Jadi tidak terlalu sulit mengingat tingkah laku setiap anak didiknya yang jumlahnya tidak lebih dari 35 murid. Namun, baru kuketahui saat aku duduk di bangku SMA, kalau guru SD ku dulu adalah calon pacar ibuku. Ha-ha. Jangan-jangan, beliau perhatian karena aku anak gebetannya. 

Sejak kecil, aku memang bukan anak yang menonjol. Nilaiku baik, tapi aku bukan anak yang pandai bergaul. Tipe ambivert yang lebih banyak introvertnya. 

Saat duduk di bangku kelas 1 SMA, Pak Slamet, wali kelasku yang juga guru mata pelajaran kimia, merupakan sosok yang sangat sabar. Baik di kelas ataupun saat les mata pelajarannya. Aku dan beberapa teman mengikuti les mata pelajaran Matematika, Kimia dan Fisika. Di setiap waktu les, kami selalu diberikan latihan soal. Materi di kelas, hanya sekedar pengingat untuk mengerjakan latihan soal. 

Lucunya, dari ketiga les tersebut aku selalu bermasalah dengan pelajaran Kimia. Aku tidak pernah bisa mengerjakan soal yang materinya sudah lewat satu hari. Jadi misalnya hari ini Pak Slamet sudah menjelaskan secara rinci Bab A dan memberikan latihan soal. Aku selalu bisa mengerjakannya dengan baik. Tapi begitu sampai sekolah keesokan harinya, semua penjelasan Pak Slamet sudah menguap begitu saja. Jadilah setiap ulangan semester, nilai Kimiaku selalu remedial. 

Sampai di kelas 3, saat ujian Semester 1, aku kembali remedial. Tahu bagaimana reaksi Pak Slamet? Beliau geleng-geleng kepala sambil berkata “Gak bosan ta nduk, tiap semester ketemu saya. Saya tahu kamu bisa, tapi saya juga gak paham kenapa kamu selalu di bawah standar nilainya.” Dan yang aku lakukan saat itu hanya duduk diam di depan Pak Slamet tanpa melakukan apapun. Kurang lebih selama 15 menit aku diam menemani Pak Slamet memeriksa soal ulangan teman-teman yang lain. 

“Sudah nduk, tolong panggil temanmu yang lain,” kata Pak Slamet menyebutkan beberapa nama temanku. Ternyata beberapa temanku ini mendapatkan soal Kimia dadakan di ruang guru. Berbeda denganku yang hanya didiamkan saja. Padahal teman-teman yang remedial ini juga les dengan Pak Slamet. 

Dan saat Ujian Akhir Sekolah, aku jadi anak yang diperhatikan Pak Slamet untuk belajar lebih giat. Karena tidak ada remedial di Ujian Akhir Sekolah. Alhamdulillah, tidak sia-sia. Meski Pak Slamet jugalah yang banyak membantuku dan teman-teman yang lain. 

Sejak saat itu, aku makin yakin bahwa Kimia bukanlah mata pelajaran yang akan bersahabat akrab denganku. Terima kasih Pak Slamet, karena percaya bahwa aku sebenarnya bisa. Hanya saja, mata pelajaran Kimia bukanlah jodohnya. Ha-ha. 

Tinggalkan komentar