Apakah Cita- Citamu Terwujud?

Ketika berusia lima tahun, apa cita-cita Anda bila dewasa nanti?

Sebagai anak generasi milenial, profesi idaman orang tuaku -ibuku tepatnya – adalah dokter, polisi, tentara, dan guru. Maka tidak heran setiap percakapan yang bersinggungan dengan cita-cita, ibuku akan berdoa anaknya memiliki salah satu profesi tersebut. 

Menjadi seorang dokter, saat itu selain butuh otak yang cerdas juga dibutuhkan biaya yang sangat besar. Tampaknya sampai sekarang pun kedua hal itu masih menjadi hal utama. Karena itulah, aku tidak pernah mengucapkan profesi dokter menjadi doaku. Aku mencoba realistis, karena selain kurang pandai, biaya menjadi dokter juga hampir tidak mungkin tersedia. Ha-ha. 

Di bangku SMP, aku sangat ingin menjadi seorang desainer. Rasanya ingin sekali bisa membuat pakaian yang lucu-lucu. Padahal, aku bukan anak yang dress up. Malah lebih seada-adanya. 

Nah, tapi waktu SMA aku malah bercita-cita menjadi istri idaman. Ha-ha. Seperti putus asa dengan hidup ya, maunya langsung nikah. Gak kok. Entah kenapa, aku dulu selalu berpikir kalau menjadi istri dan ibu itu tidak, ada sekolah formalnya. Ilmunya ya turun temurun dan pengalaman sekitar. Makanya aku suka sekali mengamati pasangan suami istri. Baik yang mesra sekali sampai yang hobinya berantem. Dari sekian banyak pengamatan itu, aku sampai sekarang tidak pernah mengerti kenapa orang yang suka berantem itu bisa menikah sampai memiliki anak. 

Dari sekian harapan dan doa ibuku yang berkeinginan anaknya untuk bekerja di ranah publik, doa bapak yang ternyata hang dikabulkan Allah. Aku ingat betul, bapak pernah berkata, apapun profesi yang aku pilih nanti. Bapak berdoa agar aku bisa menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak-anakku. Jika aku harus bekerja di ranah publik, maka itu sudah seizin suami dan aku tidak mengorbankan anak-anak. 

Makanya saat melanjutkan perkuliahan, bapak menyarankan untuk memilih jurusan yang akan berguna untukku meski aku tidak bekerja di ranah publik.

Namun siapa yang menduga, semua yang disiapkan bapak ternyata memang sejalan dengan takdir Allah. Pada 2014, saat bapak jatuh di kamar mandi dan harus banyak melakukan perawatan di rumah sakit, aku dan ibu selalu ikut mendampingi bapak. Kakak pertamaku, selain seorang istri dengan dua anak, juga seorang bidan di Rumah Sakit Daerah. Jam kerja yang shift-shiftan, membuatnya kesusahan membagi waktu. Sedangkan kakak kedua, juga punya dua anak yang masih kecil-kecil. Bisa dibayangkan kan, bagaimana dilemanya mereka. 

Dibalik musibah itu, aku dan bapak sama-sama bersyukur karena takdir yang kami jalani ini masih bisa kami jalani dengan ikhlas. 

Aku terlambat menikah? Mungkin ada rasa kesal dan menyalahkan ibu saat. Tapi saat dilihat dari sisi lain ternyata Allah sedang memberikan banyak kesempatan untuk berbakti dengan ibu bapak. Berbeda dengan kedua kakakku yang setelah menikah, baktinya berpindah ke suaminya. 

Cita-cita sejak kecil memang belum tentu bisa terwujud. Mengusahakan cita-cita, memang perlu dilakukan. Tapi apapun hasilnya, tetap harus kita pasrahkan. Karena tentu saja, kita ingin menjadi orang yang bermanfaat. Bukan hanya untuk keluarga, tapi juga sekitar kita. 

Tinggalkan komentar