Timun Jelita, salah satu karya Raditya Dika yang kubeli karena tidak sengaja lewat Gramedia di Plaza Balikpapan.
Keseringan membaca buku lewat e-reader membuatku tidak terlalu mengikuti perkembangan buku-buku baru. Pokoknya cuma mau baca yang gak berat. Titik nggak pakai koma. Alhamdulillah saat melewati Gramedia, mataku secara otomatis masih melirik ke etalase buku-buku baru. Ada beberapa buku yang menarik perhatianku. Salah satunya buku yang berjudul Timun Jelita ini.
Suka minuman manis, tapi khawatir dengan kalorinya? Atau memiliki penyakit diabetes, tapi belum bisa menghindari minuman yang manis? Hmm, gula jika dikonsumsi dengan takaran yang tepat, tentu tidak dilarang. Tapi terkadang, kita suka terlena kan.
Aku termasuk orang yang sangat menyukai minuman atau cemilan dengan rasa manis. Sayangnya, aku memiliki riwayat keluarga dengan kondisi penyakit diabetes. Maka, secara sadar diri aku harus mengurangi konsumsi makanan dan minuman manis.
Cemilan masih bisa dihindari dengan mengurangi pembeliannya, ha-ha. Tapi bagaimana dengan minuman kopi? Jujur saja, ini adalah bagian yang lumayan berat. Hal pertama yang aku lakukan adalah memilih kopi yang less sugar. Secara bertahap, aku bisa sampai dititik minum kopi tanpa gula sama sekali.
Namun, saat mendekati waktu menstruasi, keinginan mengkonsumsi rasa manis ini jauh lebih kuat. Salah seorang dokter pernah berkata “Kalau sesekali ya gak apa-apa, tidak akan mengganggu sinyal tubuhmu kok. Tapi memang harus tetap berusaha. Atau kamu bisa mengkonsumsi pemanis nol kalori seperti stevia atau sejenisnya,” sarannya.
Atas saran tersebut, akupun mencoba membeli kedua stevia dengan ukuran yang paling kecil. Alasannya karena memang hanya untuk berjaga-jaga saja. Khawatirnya tidak habis malah expired.
Video reels tersebut muncul di berandaku beberapa waktu lalu, dari akun Gramedia MT Haryono Balikpapan. Aku melihat, talentnya memegang novel dengan judul Sisi Tergelap Surga. Hmmmm.
Sebelumnya, aku sudah sering melihat cuplikan cover novel tersebut di Gramedia Digital. Hanya saja judulnya membuatku ragu untuk membacanya. Tapi karena postingan reels, akupun membeli buku versi ebooknya di Gramedia Digital.
“Bunda, di mana? Sudah mau jemput Revalina?” Tanya suara ustazah Rina di seberang telpon.
“Saya sudah di parkiran ustazah. Ini mau ke arah gerbang,” jawabku sambil berjalan cepat.
“Revalina mimisan bunda. Sebentar saya antar ke depan,” kata Ustazah Rina lagi.
DI depan gerbang sekolah, kulihat beberapa orang tua sekelas Cinta sudah menunggu. Salah satu sahabat SMAku, Merry, anaknya juga sekelas Cinta juga sedang menunggu. “Belum keluar ka,” kata Merry seakan membaca pikiranku.
“Katanya Cinta mimisan,” ceritaku tanpa ditanya.
“Sering?” tanyanya lagi.
“Gak sih! Malah seringan Rangga,” jawabku.
“Kenapa pula anak-anak kayak mamanya. Sering mimisan di sekolah. Tapi jadi gk panik ya?,” tanya Merry lagi.
“Mah, kenapa sih mama carikan Cinta sekolah yang dekat kuburan. Kan serem?” kata Cinta suatu pagi.
“Dekat? Masa sih? Perasaan mama jauh deh. Lagi pula, kita bisa gk lewat kuburan kok,” jawabku.
“Iya mah, tapi tetap aja seram, karena Cinta lihat,” kata Cinta lagi.
“Eh, tapi kan rumah kita juga dekat kuburan. Malah lebih dekat lagi dari pada sekolah kita,” kataku mengingatkan.
“Iya tapi gak keliatan ma. Kalau sekolah beda,” Cinta masih bersikeras.
“Kan sekolah juga gak keliatan,” kataku lagi.
“Pokoknya beda. Cinta gak paham kenapa mama suka banget sama daerah sekolah Cinta. Dekat kuburan, dikelilingi hutan, sepi, kalau berangkat sekolah pagi udaranya dingin. Mana kadang masih ada kabutnya,” cerocosnya.
Sebagai orang yang besar dan lahir di Balikpapan, aku termasuk orang yang hanya bisa bahasa Indonesia. Padahal, sejak sekolah teman-temanku banyak yang berasal dari suku jawa, madura, bugis dan banjar. Suku-suku yang memang mudah ditemui di kota minyak ini.
Namun, kebanyakan teman-teman sekolahkupun menggunakan bahasa Indonesia. Yang masih kental berbahasa daerah, hanya orang tua mereka. Teman-temankupun, akan berbahasa daerah, saat diajak ngobrol orang tuanya.
Ada banyak sekali yang sering diungkapkan ketika mendengar posisi janin di dalam rahim sungsang. Hal ini membuat banyak ibu hamil jadi makin ketakutan dengan persalinannya nanti. Apa sih sungsang itu? Janin dinyatakan sungsang apabila posisinya di dalam rahim dengan posisi kepala di atas atau melintang. Karena biasanya pada persalinan normal, kepala bayilah yang keluar duluan. Sedangkan jika posisinya sungsang maka pantat atau kaki si Kecil yang akan keluar terlebih dahulu dibandingkan dengan kepala. Hal ini dapat di diagnosis oleh bidan atau dokter kandungan melalui bantuan USG.
Saat liburan atau staycation, benda wajib apa yang tidak pernah ditinggalkan. Sebagian mungkin memilih strika travelling, colokan tambahan atau apa lagi? Selain colokan tambahan,aku memilih mini pengki sebagai benda wajib lain yang harus masuk dalam koper keluargaku. Kok mini pengki?
Belum lama ini, seseorang yang aku follow di instagram berbagi rutinitas paginya sebagai ibu dalam membuat bekal sekolah. Tak hanya sekadar video, ia juga memberikan narasi opininya sebagai ibu yang bekerja di ranah domestik. Sebenarnya saat mendengar pertama kali, reaksiku “wah, bisa ada yang komplen nih,” batinku.
Benar saja, beberapa hari kemudian ternyata ada yang mengkritik narasinya. Padahal maksud si pembagi, narasinya untuk penyemangat ibu-ibu yang bekerja di ranah domestik. Karena ada kalanya seorang ibu merasa jenuh dan “kepenuhan”. Bukan menyindir soal ibu bekerja di publik vs domestik. Ia pun pernah merasakan menjadi ibu yang bekerja di ranah publik. Otomatis ia tahu bagaimana rasanya dulu.
Pijat bayi sudah tidak asing lagi di telinga kita para ibu. Apalagi di kota Balikpapan dan kota-kota besar lainnya. Baby spa begitu mudah ditemui. Bahkan, ada baby spa yang menawarkan paket home care alias perawatan di rumah. Lalu, apakah tepat memilih pijat bayi di baby spa? Atau sebaiknya dilakukan ibunya sendiri.